Regenerasi
Zaki Fuad*)
Mengurus Muhammadiyah itu tidak ada bayarannya. Tidak ada gajinya. Bahkan sering keluar uang sendiri kalau berkegiatan. Dapat capeknya iya. Saya pun tidak menampik hal itu. Belum lagi mengorbankan waktu kerja dan keluarga. Faktanya, warga Muhammadiyah tetap suka di persyarikatan. Tapi memang tidak ada alasan resmi soal itu. Semua berawal dari niat dan ikhlas menjalani.
Itulah seni organisasi yang unik. Ada kontradiksi dari para pelakunya di lapangan. Faktanya mereka perlu punya uang. Tapi dia tidak merasa uang itu jadi tujuan. Dampaknya dia tidak segan mengulurkan donasinya saat diminta bantuan. Meski ada saja orang yang masih menghina, mencemooh, menyindir dan mengejeknya. Bahkan dari kalangan sesama warga persyarikatan.
Di sinilah rumitnya jadi pengurus Muhammadiyah. Harus tahan banting, tidak baperan, tahu diri dan tidak lupa daratan. Secara fakta orang ini punya posisi di organisasi. Lalu ada perasaan atas fakta itu sendiri. Kalau dua hal ini tidak dipisah. Maka yang terjadi adalah perasaan lebih dari orang lain. Dia merasa sudah duduk dan dapat dukungan suara.
Akhirnya ada yang terjebak kelamaan jadi pengurus. Bahkan sampai marah kalau ada yang mengkritik atau menasehati dirinya. Saya jadi ingat ucapan ayahanda Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) di Balikpapan, Kaltim. “Di Muhammadiyah itu orang berebut jabatan juga. Maksudnya berebut kada hakun (tidak mau),” ujarnya sambil tertawa.
Jadi sebenarnya ada dua kubu juga di Muhammadiyah. Ada yang berebut mau jadi pengurus dan tidak mau di sisi lain. Maka di tengahnya perlu ada yang namanya regenerasi. Bukan untuk saling mengganti. Tapi lebih kepada penyegaran organisasi. Mempererat kaderisasi antar generasi di persyarikatan agar terus berjalan. Itu tentu berlaku pada kader yang punya sifat legowo.
Saya ini warga Muhammadiyah dari kampung. Ustadz yang mengajar waktu kecil dulu sering bilang soal ilmu padi. Merendah saat meninggi itu pesan dari padi yang siap dipanen. Padi tidak turun harga dirinya hanya karena menunduk. Sama juga kalau ada pengurus persyarikatan mundur dan mempersilahkan kader yang kompeten. Meski dia sendiri masih bersedia jadi pengurus di periode berikutnya.
Tentu iklim di Muhammadiyah sendiri yang juga memungkinkan sistem regenerasi terlaksana. Persyarikatan ini terkenal dengan tertib administrasi, kaderisasi dan aksinya. Tidak ada keuntungan finansial bagi yang masuk sebagai pengurus di semua tingkatan. Mulai pusat, wilayah, daerah hingga cabang dan ranting. Apalagi kalau berniat mendulang suara dalam pilkada atau pileg.
“Maka Muhammadiyah lebih sebagai kumpulan pengabdi. Mengabdi bisa di mana saja. Tidak terpilih pun apa susahnya,” tulis pak Dahlan Iskan dalam kolomnya. Akhirnya siapa pun bisa terpilih dalam musyawarah wilayah (Musywil) Muhammadiyah Kaltim. Orang itu insyaAllah sudah terseleksi, kompeten dan transparan. Meski mungkin saja terjadi kasus “salah pilih”. Selamat bermusyawarah untuk kemaslahatan persyarikatan.
*) relawan Muhammadiyah